Muncul Tren Kebaya Korean Style Memicu Keresahan Warganet

BELAKANGAN ini, dunia fashion di Indoensia kembali di gemparkan dengan kemunculan tren baru yang disebut “Kebaya Korean Style”. Tren tersebut muncul di platform TikTok Shop, di mana beberapa penjual mencoba menjual kebaya modern dengan menyebutnya sebagai “Kebaya Korean Style” untuk menarik minat penggemar budaya Korea Selatan yang semakin banyak di Indonesia. 

Namun, sebutan ini memicu keresahan di kalangan warganet yang mempertanyakan keaslian dan relevansi nama tersebut. TikTok Shop telah menjadi platform populer untuk berbagai jenis produk, karena memiliki banyak penawaran seperti diskon yang besar-besaran, sistem pembelian buy one get one untuk beberapa produk tertentu dan masih banyak lagi. 

Melihat peluang besar tersebut penjual berusaha menarik perhatian mereka dengan menawarkan kebaya modern yang diberi label “Kebaya Korean Style”. Meskipun secara desain kebaya ini adalah kebaya modern yang menggabungkan elemen tradisional dengan sentuhan masa kini, penjual menambahkan embel- embel “Korean” untuk meningkatkan daya tarik fans K-pop dan drama korea.

Penggunaan nama “Kebaya Korean Style” ini memicu reaksi beragam dari warganet. Sebagaian menyambut postif inovasi ini, menganggapnya sebagai upaya kreatif untuk membuat kebaya lebih populer di kalangan generasi muda yang mengidolakan budaya korea. 

Mereka berpendapat bahwa penambahan unsur korea pada kebaya modern dapat membuatnya lebih menarik dengan tren fashion saat ini. Namun, kritik keras juga datang dari banyak warganet yang merasa bahwa penamaan tersebut tidak tepat dan menyesatkan. Mereka berpendapat bahwa kebaya adalah pakaian tradisional Indonesia yang sudah memiliki nilai dan identitas yang kuat. 

Menambahkan label “Korean” dianggap merendahkan dan merusak esensi kebaya itu sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa tidak perlu menambah unsur asing untuk membuat kebaya terlihat modern dan menarik.Berikut beberapa tanggapan yang muncul pada kolom komentar konten TikTok

1. “Tapi orang sini nyebutnya pake unsur “kebaya” jadi kesannya mengubah bentuk kebaya”

2. “Malah bagus kebaya aslinya gaksih daripada yang di model-model gitu”

3. “Apalah ada kebaya Korea juga” (Tanggapan tersebut menegaskan mengapa harus ada unsur penamaan dalam kebaya tersebut”

4. “Ihhh lucu bangettt pengen beli”

5. “Menyala kakk!!” (Tanggapan tersebut bermaksud menyukai dengan adanya Kebaya Korean Style)

Pada dasarnya, kebaya modern adalah hasil evolusi dari kebaya tradisional yang disesuaikan dengan tren fashion masa kini. Kebaya modern biasanya memiliki desain yang sederhana, menggunakan bahan yang lebih ringan, dan sering kali memiliki warna-warna pastel yang lembut. 

Sebutan-sebutan “Kebaya Korean Style” sebenarnya hanya strategi pemasaran yang bertujuan menarik perhatian penggemar budaya Korea. Tidak ada elemen spesifik dari pakaian tradisioanal Korea. Beberapa sebutan lainya yang muncul seperti kebaya crop top, yang sebenarnya adalah pakain adat tradisonal Myanmar. 

Sebutan tersebut semata-mata digunakan untuk menciptakan asosiasi dengan suatu yang sedang populer dan digemari banyak orang. Hal inilah yang memicu keresahan di kalangan warganet. Karena sebutan tersebut tidak sesuai dan hanya digunakan untuk kepentingan komersial.

Kemunculan, “Kebaya Korean Style” di TikTok Shop telah memicu berbagai reaksi warganet. Meskipun upaya ini mungkin bertujuan untuk menarik pasar yang lebih luas, banyak yang meresa penamaan tersebut tidak tepat dan merusak esensi kebaya sebagi pakaian tradisoanal Indonesia. Kritik ini menunjukan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara inovasi dan pelestarian budaya.

Pada akhirnya, kebaya baik dalam bentuk tradisional dan modern, adalah simbol identitas budaya Indonesia yang harus dijaga dan dihormati. Dengan tetap menghormati nilai- nilai budaya asli dan mempromosikan kebaya dengan cara yang tepat, kita dapat memastikan bahwa kebaya tetap menjadi bagian seluruh dari warisan budaya Indonesia yang kuat dan berkelanjutan. (*)

Artikel Ditulis Oleh: 

Shakila Nailarahma Nuravananda, mahasiswa  Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Antropologi